Batasan-batasan Pengkajian Ilmu Pengetahuan
Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari ikhwal surga dan
neraka. Sebab ikhwal surga dan neraka berada diluar Jangkauan pengalaman
manusia. Ilmu tidak mempelajari sebab musabab terciptanya manusia sebab
kejadian itu terjadi diluar jangkauan pengalamann manusia. Baik hal-hal
yang terjadi sebelum hidup kita, maupun hal-hal yang terjadi setelah
kematian manusia, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas
pengalaman kita karena fungsi ilmu sendiri dalam hidup manusia yaitu
sebagai alat bantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang
dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan
kita tanyakan pada ilmu, melainkan kepada agama. Sebab agamalah
pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi batas penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga
disebabkan pada metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah diuji
kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar
batas pengalaman empirisnya, maka pembuktian metodologis tidak dapat
dilakukan.
Ilmu tanpa bimbingan moral agama adalah buta. Kebutaan moral dari ilmu
mungkin membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka. Contoh penyalahgunaan
teknologi nuklir yang telah merenggut jutaan jiwa.
Ruang penjelajahan keilmuan kemudian kita menjadi “kapling kapling”
berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit sesuai
dengn perkembangan kuantitatif disiplin keilmuan. Dahulu ilmu dibagi
menjadi dua, ilmu alam dan ilmu sosial. Kini telah terdapat lebih dari
650 cabang keilmuan. Oleh karena itu, seorang ilmuwan harus tahu benar
batas-batas penjelajahan cabang keilmuan maing-masing.
Mengenai batas-batas kapling ini, disamping menunjukkan kematangan
keilmuan dan profesional kita, juga dimaksudkan agar kita mengenal
tetangga-tetangga kita. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan
suatu bidang keilmuan, maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari
disiplin-disiplin yang lain. Saling pandang memandang ini atau
pendekatan multi disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang
tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua,
dimana disiplin seseorang berhenti dan dimana disiplin orang lain mulai.
Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi disipliner akan
berubah menjadi sengketa kapling.
Daftar Pustaka:
Gerrard Beekman dan RA.Rifai. 1973. ”Filsafat Para Filsuf Berfilsafat” Jakarta: Penerbit Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar