Pengertian Pemukiman Kumuh
Permukiman sering di sebut perumahan
dan atau sebaliknya. Permukiman berasal dari kata housing settlement
yang artinya permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan
rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada
fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement.
Pemukiman memberikan kesan tentang
kumpulan pemukiman beserta sikap dan prilakunya di dalam lingkungan sehingga
permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda
mati, yaitu manusia (human). Dengan demikian, perumahan dan permukiman
merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan dan sangat erat hubungannya,
pada hakikatnya saling melengkapi (Sri Kurniasih, 2007:30). Adapun kumuh adalah
kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah di
lihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh
dapat di artikan sebagai tanda atau cap yang di berikan golongan atas yang
sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Hampir semua kota di Negara
berkembang menunjukkan adanya permukiman kumuh di bagian-bagian kotanya.
Sebagian besar permukiman kumuh merupakan tempat tinggal penduduk miskin di
pusat kota dan pemukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya
berasal dari para migran luar daerah. Sebagian dari pemukiman kumuh ini
merupakan pemukiman illegal di tanah yang bukan miliknya, tanpa seizin pemegang
hak tanah sehingga di sebut sebagai permukiman liar (wild occupation atau
squatter settlement)
Ada beberapa ciri-ciri daerah permukiman kumuh antara lain :
Ø Dihuni oleh
penduduk padat dan berjubel, baik karena pertumbuhan penduduk akibat kelahiran
maupun karena adanya urbanisasi
Ø Dihuni oleh
warga yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap, atau berproduksi subsistem
yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Ø Rumah-rumah yang
ada di daerah ini merupakan rumah darurat yang terbuat dari bahan-bahan bekas
dan tidak layak.
Ø Kondisi
kesehatan dan sanitasi yang rendah, biasanya di tandai oleh lingkungan fisik
yang jorok dan mudahnya tersebar penyakit menular.
Ø Ditempati secara
illegal atau status hukum tanah yang tidak jelas (bermasalah)
Ø Biasanya
ditandai oleh banyaknya prilaku menyimpang dan tidak kriminal.
Selain ciri-ciri adapun aspek-aspek
permukiman kumuh menurut Titisari dan Farud Kurniawan adalah sebagai berikut :
1.
Kondisi bangunan atau rumah
2.
Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan,
kerentanan status penduduk;
3.
Berdasarkan aspek pendukung, seperti tidak tersedianya
lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada
kegiatan sosial dan dapat di katakana hampir tidak ada fasilitas yang di bangun
secara bersama swadaya ataupun nonswadaya oleh masyarakat.
4.
Sarana pembuangan air kotor, meliputi kualitas saluran
kemampuan serta sistem kerjanya.
Pada kenyatannya banyak wilayah
permukiman yang kondisi atau keadannya berada di bawah standar yang telah di
tetapkan. Keadaan seperti itu terutama banyak di jumpai pada Negara-negara yang
sedang berkembang. Terbentuknya permukiman-permukiman yang tidak memenuhi
standar tersebut erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk yang sulit terkendali.
Selain itu terjadinya arus urbanisasi yang cukup tinggi telah menimbulkan
berbagai masalah di sektor permukiman tersebut. sebagai akibat dari proses di
atas maka terbentuklah permukiman-permukiman yang tidak dapat terkendali dengan
kondisi yang sangat memprihatinkan, dan lebih di kenal dengan nama permukiman
kumuh.
Rudiyanto (2000 : 8) menentukan dua
standar permukiman kumuh, yaitu sebagai berikut :
Ø Ditinjau dari
keadaan kondisi rumahnya, antara lain dilihat dari struktur rumahnya, pemisahan
fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan serta tatanan bangunan.
Ø Ditinjau dari
ketersediaan prasarana dan lingkungan, seperti air bersih, sanitasi, ketersediaan
fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada
tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan
kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat
kekumuhan permukiman.
Johan Silas, seorang pakar dalam
bidang arsitekstur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :
8), menjelaskan bahwa kriteria pokok untuk menentukan permukiman kumuh (marjinal)
apabila berada di lokasi yang illegal, dengan keadaan fisik yang substandard;
penghasilan penghuni sangat rendah (miskin), tidak dapat di layani berbagai
fasilitas kota; dan tidak diinginkan kehadirannya oleh public (kecuali yang
berkepentingan). Berdasarkan kriteria silas tersebut, aspek legalitas juga merupakan kriteria yang harus di
pertimbangkan untuk menentukan kekumuhan suatu wilayah, selain buruknya kondisi
kualitas lingkungan yang ada.
Menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 2011, permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas
lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan. Adapun dalam UU No. 4 Pasal 22 Tahun 1992 tentang perumahan dan
permukiman di sebutkan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak
layak di huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan
yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kuallitas
umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai,
membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penguninya.
Pada setiap perencanaan dan
pembangunan kota selalu di upayakan untuk menata kembali letak dan kondisi
berbagai lokasi permukiman. Lokasi-lokasi permukiman baru yang layak juga telah
banyak yang di bangun, namun akibat kesenjangan dalam menghuni permukiman baru
tersebut. warga yang tidak beruntung akan tetap menghuni permukiman yang kumuh.
Pertumbuhan sektor Industri, ekonomi dan perdagangan secara pesat di satu pihak
telah membuka banyak kesempatan kerja namun pihak lain juga telah menimbulkan
berbagai masalah bagi lingkungan. Semakin menyempitnya lahan di perkotaan
membawa dampak yang sangat besar bagi sektor permukiman . perggeseran penduduk
ke daerah pinggiran kota merupakan awal terbentuknya permukiman liar dan tak
terkendali, yang pada lahirnya bermuara pada lahirnya permukiman kumuh.
Khomarudin (1997 : 82) menjelaskan
bahwa lingkungan permukiman kumuh dapat di definisikan sebagai lingkungan yang
berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha) kondisi sosial ekonomi masyarakat
rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar, sarana dan
prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, hunian di
bangun di atas tanah milik Negara atau orang lain di atur perundang-undangan
yang berlaku. Adapun gambaran lingkungan kumuh adalah sebagai berikut :
·
Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau
tempat huniannya berdesakan
·
Luas rumah tidak sebanding dengan jum;ah penghuni.
·
Bersifat sementara dan di bangun atas tanah bukan
milik penghuni.
·
Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa
perencanaan
·
Prasarana kurang (MCK, air bersih, saluran buangan,
listrik, jalan lingkungan).
·
Fasilitas sosial kurang seperti (sekolah, rumah
ibadah, balai pengobatan).
·
Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non
formal.
·
Pendidikan masyarakat rendah.
Menurut Budi Sinulingga (2005 : 83),
ciri-ciri kampung atau permukiman kumuh adalah sebagai berikut :
1.
Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat
para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah
mencapai 80 jiwa / Ha, timbul masalah akibat kepadatan ini antara perumahan
yang di bangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis,
dan perlindungan terhadap penyakit.
2.
Jalan-jalan sempiit yang tersembunyi di balik
atap-atap rumah yang sudah berkesinambungansatu sama lain.
3.
Fasilitas drainase sangat tidak memadai dan terdapat
jalan-jalan tanpa drainase sehingga apabila hujan, kawasan ini dengan mudah
tergenang air.
4.
Fasilitas pembuangan air kotor / tinja sangat minim
sekali, di antaranya yang langsung membuang tinja kesaluran yang dekat dengan
rumah.
5.
Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim,
memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan, atau memberi secara kalengan.
6.
Tata bangunan sangan tidak teratur dan bangunan pada
umumnya tidak permanen dan sangat darurat.
7.
Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status
tanah masih merupakan tanah Negara dan para pemilik tidak memiliki staus
apa-apa.
Sutanto (1995 : 67) menjelaskan asal
atau proses terjadinya permukiman kumuh yaitu antara lain :
v Kumuh bangunan (created)
daerah hujan masyarakat ekonomi lemah dengan ciri fisik, yaitu bangunan mudah
di pindah, di bangun dengan bahan seadanya, dan sebagian besar di bangun
sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal)
v Kumuh turunan (generated),
cirinya adalah rumah-rumah yang semula di bangun dengan izin, di bagian kota
yang lama, kondisiya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh; desa
lama terkepung oleh pemekaran kota yang cepat; bangunan dan prasarana merosot
oleh kurangnya pemeliharaan.
v Kumuh dalah
proyek perumahan (in project housing), cirinya adalah kelompok proyek
perumahan yang di sediakan oleh badan pemerintahan bagi masyarakat ekonomi
lemah; rumah-rumah di perluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat
jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar