Selasa, 20 Desember 2016

Pengertian Pemukiman Kumuh



 Pengertian Pemukiman Kumuh
Permukiman sering di sebut perumahan dan atau sebaliknya. Permukiman berasal dari kata housing settlement yang artinya permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement.
Pemukiman memberikan kesan tentang kumpulan pemukiman beserta sikap dan prilakunya di dalam lingkungan sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati, yaitu manusia (human). Dengan demikian, perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Sri Kurniasih, 2007:30). Adapun kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah di lihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat di artikan sebagai tanda atau cap yang di berikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Hampir semua kota di Negara berkembang menunjukkan adanya permukiman kumuh di bagian-bagian kotanya. Sebagian besar permukiman kumuh merupakan tempat tinggal penduduk miskin di pusat kota dan pemukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya berasal dari para migran luar daerah. Sebagian dari pemukiman kumuh ini merupakan pemukiman illegal di tanah yang bukan miliknya, tanpa seizin pemegang hak tanah sehingga di sebut sebagai permukiman liar (wild occupation atau squatter settlement)
Ada  beberapa ciri-ciri daerah permukiman  kumuh antara lain :
Ø  Dihuni oleh penduduk padat dan berjubel, baik karena pertumbuhan penduduk akibat kelahiran maupun karena adanya urbanisasi
Ø  Dihuni oleh warga yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap, atau berproduksi subsistem yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Ø  Rumah-rumah yang ada di daerah ini merupakan rumah darurat yang terbuat dari bahan-bahan bekas dan tidak layak.
Ø  Kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, biasanya di tandai oleh lingkungan fisik yang jorok dan mudahnya tersebar penyakit menular.
Ø  Ditempati secara illegal atau status hukum tanah yang tidak jelas (bermasalah)
Ø  Biasanya ditandai oleh banyaknya prilaku menyimpang dan tidak kriminal.


Selain ciri-ciri adapun aspek-aspek permukiman kumuh menurut Titisari dan Farud Kurniawan adalah sebagai berikut :
1.      Kondisi bangunan atau rumah
2.      Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan, kerentanan status penduduk;
3.      Berdasarkan aspek pendukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat di katakana hampir tidak ada fasilitas yang di bangun secara bersama swadaya ataupun nonswadaya oleh masyarakat.
4.      Sarana pembuangan air kotor, meliputi kualitas saluran kemampuan serta sistem kerjanya.
Pada kenyatannya banyak wilayah permukiman yang kondisi atau keadannya berada di bawah standar yang telah di tetapkan. Keadaan seperti itu terutama banyak di jumpai pada Negara-negara yang sedang berkembang. Terbentuknya permukiman-permukiman yang tidak memenuhi standar tersebut erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk yang sulit terkendali. Selain itu terjadinya arus urbanisasi yang cukup tinggi telah menimbulkan berbagai masalah di sektor permukiman tersebut. sebagai akibat dari proses di atas maka terbentuklah permukiman-permukiman yang tidak dapat terkendali dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, dan lebih di kenal dengan nama permukiman kumuh.
Rudiyanto (2000 : 8) menentukan dua standar permukiman kumuh, yaitu sebagai berikut :
Ø  Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, antara lain dilihat dari struktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan serta tatanan bangunan.
Ø  Ditinjau dari ketersediaan prasarana dan lingkungan, seperti air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat kekumuhan permukiman.
Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitekstur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 : 8), menjelaskan bahwa kriteria pokok untuk menentukan permukiman kumuh (marjinal) apabila berada di lokasi yang illegal, dengan keadaan fisik yang substandard; penghasilan penghuni sangat rendah (miskin), tidak dapat di layani berbagai fasilitas kota; dan tidak diinginkan kehadirannya oleh public (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria silas tersebut, aspek legalitas juga  merupakan kriteria yang harus di pertimbangkan untuk menentukan kekumuhan suatu wilayah, selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2011, permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Adapun dalam UU No. 4 Pasal 22 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman di sebutkan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak di huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kuallitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penguninya.
Pada setiap perencanaan dan pembangunan kota selalu di upayakan untuk menata kembali letak dan kondisi berbagai lokasi permukiman. Lokasi-lokasi permukiman baru yang layak juga telah banyak yang di bangun, namun akibat kesenjangan dalam menghuni permukiman baru tersebut. warga yang tidak beruntung akan tetap menghuni permukiman yang kumuh. Pertumbuhan sektor Industri, ekonomi dan perdagangan secara pesat di satu pihak telah membuka banyak kesempatan kerja namun pihak lain juga telah menimbulkan berbagai masalah bagi lingkungan. Semakin menyempitnya lahan di perkotaan membawa dampak yang sangat besar bagi sektor permukiman . perggeseran penduduk ke daerah pinggiran kota merupakan awal terbentuknya permukiman liar dan tak terkendali, yang pada lahirnya bermuara pada lahirnya permukiman kumuh.
Khomarudin (1997 : 82) menjelaskan bahwa lingkungan permukiman kumuh dapat di definisikan sebagai lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha) kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya di bawah standar, sarana dan prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, hunian di bangun di atas tanah milik Negara atau orang lain di atur perundang-undangan yang berlaku. Adapun gambaran lingkungan kumuh adalah sebagai berikut :
·         Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan
·         Luas rumah tidak sebanding dengan jum;ah penghuni.
·         Bersifat sementara dan di bangun atas tanah bukan milik penghuni.
·         Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan
·         Prasarana kurang (MCK, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan).
·         Fasilitas sosial kurang seperti (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan).
·         Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non formal.
·         Pendidikan masyarakat rendah.
Menurut Budi Sinulingga (2005 : 83), ciri-ciri kampung atau permukiman kumuh adalah sebagai berikut :
1.      Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa / Ha, timbul masalah akibat kepadatan ini antara perumahan yang di bangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis, dan perlindungan terhadap penyakit.
2.      Jalan-jalan sempiit yang tersembunyi di balik atap-atap rumah yang sudah berkesinambungansatu sama lain.
3.      Fasilitas drainase sangat tidak memadai dan terdapat jalan-jalan tanpa drainase sehingga apabila hujan, kawasan ini dengan mudah tergenang air.
4.      Fasilitas pembuangan air kotor / tinja sangat minim sekali, di antaranya yang langsung membuang tinja kesaluran yang dekat dengan rumah.
5.      Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan, atau memberi secara kalengan.
6.      Tata bangunan sangan tidak teratur dan bangunan pada umumnya tidak permanen dan sangat darurat.
7.      Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanah masih merupakan tanah Negara dan para pemilik tidak memiliki staus apa-apa.
Sutanto (1995 : 67) menjelaskan asal atau proses terjadinya permukiman kumuh yaitu antara lain :
v  Kumuh bangunan (created) daerah hujan masyarakat ekonomi lemah dengan ciri fisik, yaitu bangunan mudah di pindah, di bangun dengan bahan seadanya, dan sebagian besar di bangun sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal)
v  Kumuh turunan (generated), cirinya adalah rumah-rumah yang semula di bangun dengan izin, di bagian kota yang lama, kondisiya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh; desa lama terkepung oleh pemekaran kota yang cepat; bangunan dan prasarana merosot oleh kurangnya pemeliharaan.
v  Kumuh dalah proyek perumahan (in project housing), cirinya adalah kelompok proyek perumahan yang di sediakan oleh badan pemerintahan bagi masyarakat ekonomi lemah; rumah-rumah di perluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar