Pengertian
adat adalah ”kebiasaan”. Istilah adat sendiri ada berbagai macam, diantaranya
adat (aceh), ngadat (gayo); lembaga/ adat lembaga (minang); adat kebiasaan
(minahasa/ maluku).Pengertian hukum adat menurut Ter Har, adalah
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum. Sedangkan menurut Van V. Hoven,
hukum adat adalah aturan tingkah laku yang memiliki sanksi dan tidak
dikodifikasikan. Hukum adat merupakan hukum yang hidup (the lifing law), karena
aturan aturan yang berkembang tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya paksaan.
Pengertian
masyarakat adalah suatu pergaulan hidup atau suatu kelompok manusia atau
kesatuan manusia yang hidup bersama menempati suatu wilayah, dan kehidupan
bersama itu merupakan suatu pergaulan hidup. Sedangkan pengertian masyarakat
hukum adalah sekelompok masyarakat yang hidup bersama, serta mempunyai tata
hukum yang sama, kewenangan atau otoritas hukum dan daya paksa. Menurut Ter Har,
masyarakat adalah kelompok masyarakat yang tetap dan teratur yang mempunyai
kekauasaan dan kekayaan sendiri serta dapat mengadakan hubungan hukum dengan
subyek hukum yang lain.
Pengertian
masyarakat hukum adat, suatu kesatuan yang para anggotanya:
1. Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar
2. Mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal. Di dalam masyarakatnya tidak ada pikiran untuk membubarkan masyarakatnya tersebut.
3. Para warga menghormati kehidupan kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar. Masyarakat hukum adat terbentuk secara alami (kodrat alam).
4. Mempunyai harta benda terpisah dari para warganya
5. Mempunyai kewibawaan dan daya paksa di dalam kreasi dan pembinaan hukumnya (memiliki pranata dan sanksi).
1. Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar
2. Mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal. Di dalam masyarakatnya tidak ada pikiran untuk membubarkan masyarakatnya tersebut.
3. Para warga menghormati kehidupan kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar. Masyarakat hukum adat terbentuk secara alami (kodrat alam).
4. Mempunyai harta benda terpisah dari para warganya
5. Mempunyai kewibawaan dan daya paksa di dalam kreasi dan pembinaan hukumnya (memiliki pranata dan sanksi).
Pengertian
hutan adat pada Pasal 1 Butir (6) UUK, Hutan adat adalah hutan negara yang
berada di wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian hutan negara menurut Pasal
1 Butir (4) UUK adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah. Pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum
antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut
Sumardjono, penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, ada anggota
masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial
yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan
hukum dan sanksi. Pada umumnya, katanya, hukum adat tidak tertulis dan tidak
perlu dijadikan tertulis, kecuali dikehendaki oleh masyarakat hukum adat sendiri
. Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekauasaan,
ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai masyarakat hukum adalah:
Patuan (Ambon); Payampeto (Kalimantan); Totabuan (Bolang mangondow); Limpo
(Sulawesi Selatan); Nuru (Buru); Ulayat (Minangkabau) .
Wilayah
kekuasaan tersebut, pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik
atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan. Dalam kenyataannya terdapat
pengecualian-pengecualian, tetapi pada asasnya ditegaskan bahwa, bersifat
tetap.
B. Hak-hak Masyarakat Adat
Hak-hak
masyarakat hukum adat adalah:
a. Hak perseorangan
sebagai warga negara, sebagai warga negara, masyarakat hukum adat mempunyai hak
asasi yang sama dengan warga negara lainnya.
b. Hak kolektif sebagai Masyarakat hukum Adat. Sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturalnya maupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.
c. Hak atas Pembangunan. Hak-hak tersebut diatas merupakan bagian dari hak-hak atas pembangunan, yang menurut Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO Tahun 1989 tentang Kelompok Minoritas dan Masyarakat Hukum Adat di Negara Negara Merdeka. Yang secara menyeluruh terdiri dari:
b. Hak kolektif sebagai Masyarakat hukum Adat. Sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturalnya maupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.
c. Hak atas Pembangunan. Hak-hak tersebut diatas merupakan bagian dari hak-hak atas pembangunan, yang menurut Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO Tahun 1989 tentang Kelompok Minoritas dan Masyarakat Hukum Adat di Negara Negara Merdeka. Yang secara menyeluruh terdiri dari:
1. Hak untuk menentukan
nasib sendiri (rights of internal self determination)
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (rights of participation)
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi. (rights to food, health, habitat, and economic security)
4. Hak atas pendidikan (rights to education)
5. Hak atas pekerjaan (rights to work)
6. Hak anak (rights of children)
7. Hak pekerja (rights of workers)
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat. (rights of minorities and indigenous people)
9. Hak atas tanah (rights to land)
10. Hak atas persamaan (rights to equality)
11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection)
12. Hak atas pelayanan (rights to administrative due process)
13. Hak atas penegakan hukum (rights to the rule of law) .
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (rights of participation)
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi. (rights to food, health, habitat, and economic security)
4. Hak atas pendidikan (rights to education)
5. Hak atas pekerjaan (rights to work)
6. Hak anak (rights of children)
7. Hak pekerja (rights of workers)
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat. (rights of minorities and indigenous people)
9. Hak atas tanah (rights to land)
10. Hak atas persamaan (rights to equality)
11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection)
12. Hak atas pelayanan (rights to administrative due process)
13. Hak atas penegakan hukum (rights to the rule of law) .
C. Pengakuan Hak Masyarakat Dalam Undang-Undang Kehutanan
Tanah
merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan,
tempat dimana para warga yang meninggal itu dikuburkan, dan sesuai dengan
kepercayaan merupakan pula tempat tinggal dewa-dewa pelindung dan tempat roh
para leluhur bersemayam. Selain itu, tanah mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang
meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula,
malah kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomis
umpamanya: dilanda banjir, setelah banjir surut, maka tanah tetap seperti
semula dan keadaannya bertambah subur dari yang semula .
Di dalam
hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang
didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali; hubungan yang bersumber pada
pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat
religio-magis ini, menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai
tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil tumbuh-tumbuhan, dll.
Secara umum,
pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara
masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Menurut Ter har
sebagaimana dikuti Maria Sumardjono, dalam pengertian ”tanah dalam lingkungan
wilayahnya”, itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan
dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan dan
binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata
pencahariaannya .
Dalam
bagian Penjelasan Umum UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) dinyatakan
bahwa: Dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam “Hutan
Negara” dan “Hutan Hak” . Hutan Negara ialah kawasan hutan yang berada pada
tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UU No.5 Th.1960, termasuk
didalamnya hutan-hutan yang sebelum dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang
disebut “Hutan Ulayat, Hutan Marga”, atau sebutan lainnya.
Lebih
lanjut di dalam Penjelasan Umum UUK: Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai
masyarakat hukum adat ke dalam Hutan Negara sebagai konsekuensi adanya hak
menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan
UUK tersebut di atas, menganut persepsi berbeda tentang hak ulayat. Jika dalam
hukum tanah nasional hak ulayat disikapi sebagai hak atas tanah, plus segala
isinya (termasuk hutan), maka dalam konsepsi UUK, status hutan hanya dibagi
menjadi 2 (dua) yakni hutan negara dan hutan hak. Dengan perkataan lain,
konsepsi ”hak ulayat” tidak dimasukkan kedalam UUK, tetapi diistilahkan dengan
”hutan adat”, hutan adat tersebut, dimasukkan kedalam bagian kategori ”hutan
negara”. Konsekuensi dari hal tersebut adalah, tidak adanya pengakuan dari
hutan adat di dalam UUK, yang ada adalah hutan hak dan hutan negara.
Selain itu, disimpulkan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih ada, tetapi pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat (hak ulayat), tidak diakui. Hal ini karena, adanya ketentuan yang menyatakan bahwa, ”…hutan adat adalah hutan negara yang berada pada wilayah hukum adat…”.
Selain itu, disimpulkan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih ada, tetapi pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat (hak ulayat), tidak diakui. Hal ini karena, adanya ketentuan yang menyatakan bahwa, ”…hutan adat adalah hutan negara yang berada pada wilayah hukum adat…”.
Konsep
politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN) sebagaimana terkandung dalam
Undang-undang Kehutanan 1999 tersebut, sama dengan konsep yang terkandung di
dalam Undang-undang Agraria 1960, Undang-undang Pertambangan 1967,
Undang-undang Penataan Ruang 1992, Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
1997, dan lain-lain, berdasar suatu klaim negara atas kedaulatan masyarakat
adat atas teritorinya.
Dalam
hubungannya dengan kontek sejarah politik, adalah merupakan kenyataan bahwa
masyarakat telah ada lebih dahulu dari adanya negara. Berbeda dengan negara
yang terbentuk secara artifisial, masyarakat hukum adat tumbuh karena memang
perlu ada dan bersifat alami. Sedangkan menurut sejarahnya, negara lahir
sebagai respons terhadap industrialisasi dan kapitalisme, serta menuntut
hegemoni terhadap kekuasaan dan wilayah. Dalam konteks ini berkembang
penafsiran yang tidak tepat bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat masih
ada, jika diakui oleh negara.
Dapat
dikatakan bahwa HMN ini merupakan satu konsepsi politik hukum yang mencabut
kekuasaan masyarakat adat. Pikiran pembuat UUPA, menyatakan bahwa:
“… oleh karena suku-suku
bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah
merupakan bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Repubik
Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak
atas tanah, yang dahulu mutlak berada di tangan kepala suku/masyarakat hukum
adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya dengan sendirinya beralih
kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak
menguasai/ulayat seluruh wilayah Negara.”
Menurut
pembuat UUPA kewenangan Masyarakat Adat harus tunduk pada pembentukan negara
Indonesia, melalui peleburan persekutuan-persekutuan masyarakat adat tersebut.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan negara bangsa merupakan pemangku
kekuasaan yang menjadi sumber pembatas dari berlakunya hukum adat. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa negara-isasi tanah-tanah adat merupakan dasar
pikiran sejumlah orang pemikir-pembuat undang-undang yang berhubungan dengan
tanah dan sumberdaya alam.
Lebih lanjut menurut
Icraf,
”Masuknya hutan adat ke dalam Hak Milik Negara adalah adanya asumsi bahwa kemaslahatan rakyat hanya bisa dijalankan oleh kekuasaan negara yang besar, termasuk pada tanah-tanah dan sumberdaya alamnya. Romantisasi “negara budiman ini” lah yang memberi andil pada perumusan konsep HMN, yang katanya adalah “hak ulayat yang ditinggikan ke tingkat negara”. Padahal, berdasar pada konsep HMN ini lah, tanah-tanah Masyarakat Adat ditetapkan sebagai “Tanah Negara”, yang kemudian di atasnya, pemerintah pusat memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) yang baru seperti Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, dan lain-lain, yang dalam pengalaman sepanjang 32 tahun, nyata-nyata membuat mereka menderita” .
”Masuknya hutan adat ke dalam Hak Milik Negara adalah adanya asumsi bahwa kemaslahatan rakyat hanya bisa dijalankan oleh kekuasaan negara yang besar, termasuk pada tanah-tanah dan sumberdaya alamnya. Romantisasi “negara budiman ini” lah yang memberi andil pada perumusan konsep HMN, yang katanya adalah “hak ulayat yang ditinggikan ke tingkat negara”. Padahal, berdasar pada konsep HMN ini lah, tanah-tanah Masyarakat Adat ditetapkan sebagai “Tanah Negara”, yang kemudian di atasnya, pemerintah pusat memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) yang baru seperti Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, dan lain-lain, yang dalam pengalaman sepanjang 32 tahun, nyata-nyata membuat mereka menderita” .
Berdasarkan
pemaparan tersebut di atas, mencerminkan bahwa, UUK menganut paradigma
pengelolaan hutan oleh negara yang sangat kental. Hal ini tercermin dari tidak
adanya pengakuan terhadap hutan adat, sebagai hutan berdasarkan statusnya. UUK
hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai statusnya. Sedangkan hutan
adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan
dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber
daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara.
Pengukuhan
keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah
yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat. Ketentuan
yang sifatnya birokratik dan teknokratik-saintifik ini berpotensi mengingkari
keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian
mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self
identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self determination).
UUK juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki SDA, yang diakui
hanya hak untuk mengelola/ memanajemen, dalam skala terbatas untuk keperluan
hidup sehari-hari.
Selain
itu, aspek lain yang terkait dengan masyarakat adat, yakni pengaturan mengenai
kelembagaan pengelolaan hutan. Menurut UUK, maka hanya Koperasi sebagai lembaga
satu-satunya untuk dipilih oleh masyarakat dalam rangka mengembangkan
perekonomiannnya melalui pengelolaan hutan. Tentunya peraturan seperti ini
secara nyata mengabaikan keberadaan instutusi-institusi lokal atau kelembagaan
adat yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat adat/ lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar