Minggu, 18 Desember 2016

Masyarakat Hukum adat

Pengertian dan Ruang Lingkup Masyarakat Hukum Adat
Pengertian adat adalah ”kebiasaan”. Istilah adat sendiri ada berbagai macam, diantaranya adat (aceh), ngadat (gayo); lembaga/ adat lembaga (minang); adat kebiasaan (minahasa/ maluku).Pengertian hukum adat menurut Ter Har, adalah keputusan-keputusan para fungsionaris hukum. Sedangkan menurut Van V. Hoven, hukum adat adalah aturan tingkah laku yang memiliki sanksi dan tidak dikodifikasikan. Hukum adat merupakan hukum yang hidup (the lifing law), karena aturan aturan yang berkembang tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya paksaan.
Pengertian masyarakat adalah suatu pergaulan hidup atau suatu kelompok manusia atau kesatuan manusia yang hidup bersama menempati suatu wilayah, dan kehidupan bersama itu merupakan suatu pergaulan hidup. Sedangkan pengertian masyarakat hukum adalah sekelompok masyarakat yang hidup bersama, serta mempunyai tata hukum yang sama, kewenangan atau otoritas hukum dan daya paksa. Menurut Ter Har, masyarakat adalah kelompok masyarakat yang tetap dan teratur yang mempunyai kekauasaan dan kekayaan sendiri serta dapat mengadakan hubungan hukum dengan subyek hukum yang lain.
Pengertian masyarakat hukum adat, suatu kesatuan yang para anggotanya:
1. Bersikap dan bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar
2. Mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal. Di dalam masyarakatnya tidak ada pikiran untuk membubarkan masyarakatnya tersebut.
3. Para warga menghormati kehidupan kelompok itu sebagai suatu hal yang wajar. Masyarakat hukum adat terbentuk secara alami (kodrat alam).
4. Mempunyai harta benda terpisah dari para warganya
5. Mempunyai kewibawaan dan daya paksa di dalam kreasi dan pembinaan hukumnya (memiliki pranata dan sanksi).
Pengertian hutan adat pada Pasal 1 Butir (6) UUK, Hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Pengertian hutan negara menurut Pasal 1 Butir (4) UUK adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut Sumardjono, penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat, ada anggota masyarakat, suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Pada umumnya, katanya, hukum adat tidak tertulis dan tidak perlu dijadikan tertulis, kecuali dikehendaki oleh masyarakat hukum adat sendiri . Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekauasaan, ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai masyarakat hukum adalah: Patuan (Ambon); Payampeto (Kalimantan); Totabuan (Bolang mangondow); Limpo (Sulawesi Selatan); Nuru (Buru); Ulayat (Minangkabau) .
Wilayah kekuasaan tersebut, pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan. Dalam kenyataannya terdapat pengecualian-pengecualian, tetapi pada asasnya ditegaskan bahwa, bersifat tetap.
B. Hak-hak Masyarakat Adat
Hak-hak masyarakat hukum adat adalah:
a. Hak perseorangan sebagai warga negara, sebagai warga negara, masyarakat hukum adat mempunyai hak asasi yang sama dengan warga negara lainnya.
b. Hak kolektif sebagai Masyarakat hukum Adat. Sebagai suatu komunitas antropologis, masyarakat hukum adat mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kulturalnya maupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat.
c. Hak atas Pembangunan. Hak-hak tersebut diatas merupakan bagian dari hak-hak atas pembangunan, yang menurut Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan, 1986 dan Konvensi ILO Tahun 1989 tentang Kelompok Minoritas dan Masyarakat Hukum Adat di Negara Negara Merdeka. Yang secara menyeluruh terdiri dari:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri (rights of internal self determination)
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (rights of participation)
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, dan keamanan ekonomi. (rights to food, health, habitat, and economic security)
4. Hak atas pendidikan (rights to education)
5. Hak atas pekerjaan (rights to work)
6. Hak anak (rights of children)
7. Hak pekerja (rights of workers)
8. Hak minoritas dan masyarakat hukum adat. (rights of minorities and indigenous people)
9. Hak atas tanah (rights to land)
10. Hak atas persamaan (rights to equality)
11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection)
12. Hak atas pelayanan (rights to administrative due process)
13. Hak atas penegakan hukum (rights to the rule of law) .

C. Pengakuan Hak Masyarakat Dalam Undang-Undang Kehutanan
Tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, tempat dimana para warga yang meninggal itu dikuburkan, dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal dewa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Selain itu, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan, dipandang dari segi ekonomis umpamanya: dilanda banjir, setelah banjir surut, maka tanah tetap seperti semula dan keadaannya bertambah subur dari yang semula .
Di dalam hukum adat, maka antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali; hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini, menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil tumbuh-tumbuhan, dll.
Secara umum, pengertian hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Menurut Ter har sebagaimana dikuti Maria Sumardjono, dalam pengertian ”tanah dalam lingkungan wilayahnya”, itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah, termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariaannya .
Dalam bagian Penjelasan Umum UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) dinyatakan bahwa: Dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam “Hutan Negara” dan “Hutan Hak” . Hutan Negara ialah kawasan hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UU No.5 Th.1960, termasuk didalamnya hutan-hutan yang sebelum dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang disebut “Hutan Ulayat, Hutan Marga”, atau sebutan lainnya.
Lebih lanjut di dalam Penjelasan Umum UUK: Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai masyarakat hukum adat ke dalam Hutan Negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Ketentuan UUK tersebut di atas, menganut persepsi berbeda tentang hak ulayat. Jika dalam hukum tanah nasional hak ulayat disikapi sebagai hak atas tanah, plus segala isinya (termasuk hutan), maka dalam konsepsi UUK, status hutan hanya dibagi menjadi 2 (dua) yakni hutan negara dan hutan hak. Dengan perkataan lain, konsepsi ”hak ulayat” tidak dimasukkan kedalam UUK, tetapi diistilahkan dengan ”hutan adat”, hutan adat tersebut, dimasukkan kedalam bagian kategori ”hutan negara”. Konsekuensi dari hal tersebut adalah, tidak adanya pengakuan dari hutan adat di dalam UUK, yang ada adalah hutan hak dan hutan negara.
Selain itu, disimpulkan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih ada, tetapi pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat (hak ulayat), tidak diakui. Hal ini karena, adanya ketentuan yang menyatakan bahwa, ”…hutan adat adalah hutan negara yang berada pada wilayah hukum adat…”.
Konsep politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN) sebagaimana terkandung dalam Undang-undang Kehutanan 1999 tersebut, sama dengan konsep yang terkandung di dalam Undang-undang Agraria 1960, Undang-undang Pertambangan 1967, Undang-undang Penataan Ruang 1992, Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup 1997, dan lain-lain, berdasar suatu klaim negara atas kedaulatan masyarakat adat atas teritorinya.
Dalam hubungannya dengan kontek sejarah politik, adalah merupakan kenyataan bahwa masyarakat telah ada lebih dahulu dari adanya negara. Berbeda dengan negara yang terbentuk secara artifisial, masyarakat hukum adat tumbuh karena memang perlu ada dan bersifat alami. Sedangkan menurut sejarahnya, negara lahir sebagai respons terhadap industrialisasi dan kapitalisme, serta menuntut hegemoni terhadap kekuasaan dan wilayah. Dalam konteks ini berkembang penafsiran yang tidak tepat bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat masih ada, jika diakui oleh negara.
Dapat dikatakan bahwa HMN ini merupakan satu konsepsi politik hukum yang mencabut kekuasaan masyarakat adat. Pikiran pembuat UUPA, menyatakan bahwa:
“… oleh karena suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Repubik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada di tangan kepala suku/masyarakat hukum adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ulayat seluruh wilayah Negara.”
Menurut pembuat UUPA kewenangan Masyarakat Adat harus tunduk pada pembentukan negara Indonesia, melalui peleburan persekutuan-persekutuan masyarakat adat tersebut. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan negara bangsa merupakan pemangku kekuasaan yang menjadi sumber pembatas dari berlakunya hukum adat. Dengan demikian menjadi jelas bahwa negara-isasi tanah-tanah adat merupakan dasar pikiran sejumlah orang pemikir-pembuat undang-undang yang berhubungan dengan tanah dan sumberdaya alam.
Lebih lanjut menurut Icraf,
”Masuknya hutan adat ke dalam Hak Milik Negara adalah adanya asumsi bahwa kemaslahatan rakyat hanya bisa dijalankan oleh kekuasaan negara yang besar, termasuk pada tanah-tanah dan sumberdaya alamnya. Romantisasi “negara budiman ini” lah yang memberi andil pada perumusan konsep HMN, yang katanya adalah “hak ulayat yang ditinggikan ke tingkat negara”. Padahal, berdasar pada konsep HMN ini lah, tanah-tanah Masyarakat Adat ditetapkan sebagai “Tanah Negara”, yang kemudian di atasnya, pemerintah pusat memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) yang baru seperti Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, dan lain-lain, yang dalam pengalaman sepanjang 32 tahun, nyata-nyata membuat mereka menderita” .
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, mencerminkan bahwa, UUK menganut paradigma pengelolaan hutan oleh negara yang sangat kental. Hal ini tercermin dari tidak adanya pengakuan terhadap hutan adat, sebagai hutan berdasarkan statusnya. UUK hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai statusnya. Sedangkan hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara.
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat. Ketentuan yang sifatnya birokratik dan teknokratik-saintifik ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self determination). UUK juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki SDA, yang diakui hanya hak untuk mengelola/ memanajemen, dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.
Selain itu, aspek lain yang terkait dengan masyarakat adat, yakni pengaturan mengenai kelembagaan pengelolaan hutan. Menurut UUK, maka hanya Koperasi sebagai lembaga satu-satunya untuk dipilih oleh masyarakat dalam rangka mengembangkan perekonomiannnya melalui pengelolaan hutan. Tentunya peraturan seperti ini secara nyata mengabaikan keberadaan instutusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat adat/ lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar