Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh Di Pusat Kota Dan Kawasan Pesisir Pantai
Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek
penting, yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, sarana dan
prasarana dasar, yang terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi
dan budaya baik dalam suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu
sendiri atau ekosistem kota. oleh karena itu permukiman kumuh harus
senantiasa dipandang secara utuh dan integral dalam dimensi yang lebih
luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang menjadi penyebab tumbuhnya
permukiman adalah sebagai berikut:
1.Faktor Urbanisasi Dan Migrasi Penduduk
Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi wilayah desa
menjadi kota sebagai dampak dari tingkat keurbanan (kekotaan) dalam
suatu wilayah (region) atau negara. Konsekuensinya adalah terjadi
perpindahan penduduk (dengan aktifitas ekonominya) secara individu atau
kelompok yang berasal dari desa menuju kota atau daerah hinterland
lainnya. Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan
kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan penduduk
kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan secara nasional.
Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks kependudukan yaitu
dengan memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan terhadap jumlah
penduduk nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus
diinterpretasikan dalam konteks kependudukan semata, kenyataannya harus
mencakup dimensi perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat,
bahkan lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya
dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi merupakan substansi
pergeseran atau transformasi perubahan corak sosio-ekonomi masyarakat
perkotaan yang berbasis industri dan jasa-jasa (Tommy Firman, 1996).
Rumusan beberapa faktor secara umum yang dapat mempengaruhi terjadinya proses keurbanan, antara lain :
1.Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antara desa dengan perkotaan
2.Peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan
3.Terjadinya pola perubahan minat tentang lapangan pekerjaan dari
pertanian ke industri, utamanya bagi penduduk usia kerja di perdesaan
4.Lebih majunya teknologi dan infrastruktur prasarana transportasi,
sehingga memudahkan terjadinya mobilitas penduduk baik yang permanen
atau yang ulang alik.
5.Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih menjanjikan, utamanya aspek
pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek sosial lainnya
Proses urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum yang dialami oleh
negara-negara sedang berkembang. Proses pembangunan yang berlangsung
relatif pesat. Karena daya tarik kota sangat kuat, baik yang bersifat
ekonomis maupun non ekonomis. Keadaan daerah perdesaan yang serba
kekurangan merupakan pendorong yang kuat dalam meningkatnya arus
urbanisasi ke kota-kota besar.
Bagi kota yang mulai padat penduduknya, pertambahan penduduk tiap
tahunnya jauh melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam wilayahnya
sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota. Tekanan ekonomi dan
kepadatan tinggal bagi kaum urban memaksa mereka menempati
daerah-daerah pinggiran (slum area) hingga membentuk lingkungan
permukiman kumuh.
Migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah banyak
membahas tentang teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan
penelitian tentang migrasi.
Lee dalam Lisna Yoeliani P (1966) mendekati migrasi dengan formula yang
lebih terarah. faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk
bermigrasi dapat dibedakan atas kelompok sebagai berikut :
a.Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran.
b.Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan migran (destination)
c.Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors)
d.Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.
Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di tempat tujuan
migran dapat terbentuk faktor positif maupun faktor negatif.
Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang
mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di
daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat berbentuk penarik
sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan orang
tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang
rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah.
Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak
merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi,
kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan
faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko yang
mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya
merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran
tersebut.
Keberadaan penduduk migran di permukiman kumuh yang menempati lahan
milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian
ilegal atau lazim disebut hunian liar (squatter). Hal ini jelas telah
menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung
jawab atas lahan yang ditempatinya, Meskipun mereka tinggal pada
permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT)
dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan
listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi aktif dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan
mempersulit bagi Pemkot Kendari maupun pemilik lahan untuk membebaskan
permukiman demikian.
Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi
kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah
menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya, namun
sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan Kota.
Kota Kendari telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah
perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya rendah,
namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara
langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi
skala rumah tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal
maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja
maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor
komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh yang dapat menyediakan
perumahan murah, juga sangat membantu penduduk kota yang
menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah golongan
rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif
murah.
2.Faktor Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat telah menyebabkan
berbagai persoalan serius diantaranya adalah permasalahan perumahan.
Permasalahan perumahan sering disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
penyediaan unit hunian bagi kaum mampu dan kaum tidak mampu di
perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak mampu tidak menguasai
sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga kaum tidak mampu
ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian sub standar di permukiman
yang tidak layak.
Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan kaum tidak mampu
ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekenisme
pasar tanpa mempertimbangkan secara serius pentingnya keberadaan hunian
yang layak bagi kaum miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan
yang salah, semata-mata berpihak pada kaum mampu pada akhirnya mendorong
lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang tidak layak ini terus
mengalami penurunan kualitas dan rentan masalah sosial lainnya.
3. Faktor Prasarana dan Sarana Dasar
Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai juga oleh tidak
memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya suplai air
bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi, listrik, sekolah, pusat
pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar dan sebaginya. Bahkan hampir
sebagian besar rumah tangga di lingkungan permukiman kumuh ini mampunyai
akses yang sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan prasarana
dasar tersebut.
Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana dasar ini pada
umumnya disebabkan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas dalam
pengadaan serta pengelolaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman,
kemampuan dan kapasitas serta kesadaran masyarakat juga terbatas pula.
Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya peran berbagai lembaga
maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik secara profesional
atau sukarela dalam peningkatan permasalahan sarana dan prasarana dasar.
4. Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan permukiman kumuh
mempunyai tingkat pendapatan yang rendah karena terbatasnya akses
terhadap lapangan kerja yang ada. Tingkat pendapatan yang rendah ini
menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula atau terbatasnya
kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar.
Di sisi lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman kumuh
yang sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki potensi berupa
tenaga kerja kota yang memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap
kegiatan perekonomian suatu kota. aktivitas ekonomi di sektor informal
terbukti telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
berlangsungnya kehidupan produksi melalui sektor informal.
Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan permukiman kumuh
yang rendah ini merupakan permasalahan yang serius keberlangsungan
produtivitas suatu kota. Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah
satu pendorong meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota, dari
daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga menumbuhkan
lingkungan permukiman kumuh baru.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga
menjadi faktor penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan
maupun di daerah pesisir. Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin
sulintya mencari pekerjaan didaerah perkotaan membuat masyarakat yang
berada di garis kemiskinan semakin kesulitan untuk menyediakan perumahan
yang layak huni bagi mereka sendiri.
Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat berusaha
dengan orientasi memenuhi kebutuhan hidup. Dan, ketika mereka berhadapan
dengan keterbatasan pekerjaan formal yang jelas strukturnya, mereka
menciptakan pekerjaan-pekerjaan informal yang memberi peluang untuk
melangsungkan kehidupan. Tercukupinya kebutuhan hidup adalah konsep
sederhana tentang kebahagiaan yang dimiliki oleh kaum miskin. Namun,
dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda pembangunan
ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada mereka.
persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas urbanisasi, lonjakan
pengangguran, serta tingginya tuntutan dan biaya hidup yang memaksa
manusia kota kreatif untuk berusaha di bidang ekonomi. Berdasar survei
Bappenas pada 2002, kuantitas pekerja di sektor informal selalu paralel
dengan tingkat Pemutusan Hubungan Kerja serta angka pengangguran.
Semakin tinggi angka Pemutusan Hubungan Kerja dan tingkat pengangguran,
berarti jumlah Pekerja pada sektor informal juga akan bertambah.
Urbanisasi juga menyumbang pertambahan pekerja pada sektor informal
lantaran para pendatang dari perdesaan umumnya tak memiliki keterampilan
yang memadai di sektor formal. (Jawa Pos, 17/02/06).
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan
dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas
ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal adalah cara melakukan
sesuatu yang ditandai dengan :
a.Mudah untuk dimasuki
b.Bersandar pada sumber daya lokal
c.Usaha milik sendiri
d.Operasinya dalam skala kecil
e.Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif
f.Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal
g.Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Aktivitas-aktivitas sektor informal pada umumnya dikesampingkan, jarang
didukung, bahkan seringkali diatur oleh aturan yang ketat, dan terkadang
tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Menurut Daldjoeni (1987:172), mereka yang masuk ke dalam sektor informal
adalah mereka yang harganya berada di kelas dua, artinya bahwa mereka
yang orientasi pemasarannya untuk golongan menengah ke bawah. Untuk itu,
mereka harus lebih diformalkan, lebih dipadatmodalkan, lebih
ditatabukukan, lebih dibadanhukumkan, dan lebih dikenai pajak.
Secara implisit dalam kegiatan perdagangan, kegiatan informal dalam
bentuk pedagang kaki lima. Ditinjau dari karakteristik kehadirannya,
timbul sektor informal karena :
1.Tingkat persaingan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
2.Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka panjang seperti halnya yang
dimiliki oleh sektor formal, sehingga mengakibatkan mobilitas angkatan
kerja dalam sektor informal menjadi relatif lebih tinggi.
3.Meningkatnya arus urbanisasi
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, untuk
membangun rumah yang layak huni menambah daftar panjang permasalahan
permukiman kumuh diperkotaan dan daerah pesisir. Jika golongan miskin
dianggap tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri dalam membangun
rumah yang layak huni maka mereka seharunya dibantu. Dalam konteks
perumahan, kecenderungan ini berarti hanya pemerintah sajalah yang mampu
membangun perumahan yang layak huni bagi masyarakat miskin. Menurut
Turner dalam Alan gilbert dkk, pemerintah sebaiknya membangun perumahan
swadaya. Dan itu akan terjadi manakala masyarakat miskin tersebut
memahami peranannya bahwa perumahan merupakan bagian dari hidup mereka.
5.Faktor Sosial Budaya
Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat pendidikan dan
keterampilan yang sangat rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan dan
keterampilan yang rendah ini sangat erat dengan rendahnya tingkat
pedapatan penduduk sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
Di samping itu struktur sosial penghuni lingkungan permukiman sangat
majemuk dengan beragam norma-norma sosialnya masing-masing. Keragaman
ini kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak percaya antar
penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat kohesivitas komunitas.
Masing-masing mengikuti struktur hubungan antar sesama dan budaya yang
beragam, yang mempengaruhi bagaimana sebuah individu, keluarga dan
tetangga dalam berinteraksi di lingkungannya. Sehingga kadang-kadang
menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang berbasis pada komunitas
atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bersama.
Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik untuk
mencari pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan dikota membuat
kota semakin tidak aman bagi masyarakat kota. Argumentasi disorganisasi
atau nuansa di kota yang aman hampir tidak dapat dipungkiri bahwa rasa
aman hidup dikota semakin hilang. Hal ini akibat dari perilaku yang
terlepas dari kontrol sosial terhadap nilai-nilai masyarakat. Kaum
migran desa-kota cenderung berharap mereka akan mampu memperbaiki posisi
sosial ekonomi mereka ketika melakukan migrasi kekota. Mereka dipenuhi
pikiran untuk memapankan hubungan pekerjaan dan nilai finansial yang
akan didapatkannya ketika berada dikota. Namun perlu diketahui bahwa
persaingan dikota jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa. (darsono
Wisadirana : 2004)
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan/skill dan potensi akan
tersingkir dari dunia usaha yang sifatnya formal. Akibatnya untuk
mencari pekerjaan mereka menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan
bergerak dalam sektor usaha informal.
Kasus kejahatan yang dapat terjadi dari konflik sosial adalah akibat
semakin tingginya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin yang
tidak mampu untuk bersaing. Maka muncullah kejahatan sebagai jalan
pintas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih cepat. Pencurian dan
perampokkan dipermudah lagi oleh tidak adanya sosialisasi dengan sikap
acuh tah acuh sesama masyakat yang bersifat individualistis. Dan sesama
masyarakat saling tidak kenal dan puas dengan kehidupan subsistem.
Tetapi orang-orang miskin dikota mungkin tidak memiliki alternatif
perkerjaan lain kecuali harus mencuri dan merampok untuk mempertahankan
kehidupan mereka. Kadang ada juga yang secara terorganisir melakukan
perampokkan dan pencurian dengan modus yang berbeda-beda. Konflik sosial
lain akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang dapat menampung kaum
migran adalah dengan melakukan pekerjaan sebagai pemulung atau pekerjaan
lain yang dapat mereka lakukan. (Daldjoeni: 1997)
Masyarakat yang bermigrasi kekota juga membawa nilai-nilai sosial yang
ada dalam masyarakat desa. Sementara masyarakat kota yang heterogen
memiliki cirinya sendiri. Salah satu ciri masyarakat kota dalam Alan
Gilbert mengungkapkan bahwa ciri masyarakat kota ditandai dengan :
a.Lebih terbuka terhadap perubahan
b.Kota merupakan pintu gerbang ide-ide dan budaya yang baru
c.Masyarakat kota lebih kritis terhadap perubahan harga barang dan lainnya
d.Lebih rasional
e.Faktor pendidikan dan informasi sangat dibutuhkan
f.Proses individualisme lebih mencolok dibandingkan dengan suasana kekeluargaan
g.Aktivitas dan jarak sosial yang lebih padat
h.Dikelompokkan oleh kepentingan
i.Kerawanan dan berdampak pada persaingan dan agresivitas
j.Keragaman pekerjaan baik dari sektor industri maupun sektor jasa.
Menurut Betrand (1987) Dalam (Darsono Wisadirana , 2005 : 23) masyarakat
merupakan hasil dari suatu perubahan budaya dan akumulasi budaya. Jadi
masyarakat bukan sekedar jumlah penduduk saja melainkan sebagai suatu
sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka. Sehingga menampilkan
suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri tersendiri. Dimana dari
hubungan antar mereka ini terbentuk suatu kumpulan manusuia kemudian
menghasilkan suatu budaya. Jadi masyarakat merupakan sekumpulan orang
yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan perwujudan dari perilaku
manusia. Antara masyarakat dan kebudayaan dalam kehidupan yang nyata,
keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial bagaikan dua sisi
mata uang. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan atau
sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan
pendukungnya.
Kota pun menjadi fokus dari perubahan sosial yang mengisinkan hadirnya
kegiatan-kegiatan personal yang menyimpang. Tingkat kejahatan, kenakalan
remaja, dan kegiatan menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi di daerah
perkotaan. Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja kaum marginal
maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk mencari
penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada kenyataannya meraka
tidak mampu untuk ditampung pada sektor formal karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada pada masyarakat marjinal. (Daljoeni
:1997)
Daerah-daerah permukiman liar tadi merupakan penerusan dari kehidupan
perdesaan yang serba luwes. Pendudukya lebih gigih mempertahankan tanah
yang terlanjur mereka tempati sehingga sulit untuk melakukan
penggusuran. Ciri-ciri sosial ekonomi kaum penghuni gubug-gubug liar
yang tergolong kaum marjinal dan penduduk termiskin terdiri atas para
urbanisan yang paling baru datangnya. Tetapi mereka merupakan penggerak
kota karena bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pelabuhan, dan buruh
kasar yang membuat ekonomi berjalan terus.
Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus secara serius
melaksanakan identifikasi asal-usul tumbuh kembangnya lingkungan
permukiman tersebut guna membantu melakukan rekonstruksi nilai-nilai
sosial budaya yang ada dan berlaku di dalamnya, termasuk keterkaitan
dengan konfigurasi struktur sosial budaya kota.
6.Faktor Tata Ruang
Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari konsfigurasi struktur ruang kota. oleh karena
itu, perencanaan tata ruang kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa
pengembangan kota harus dilakukan sesuai dengan daya dukunya termasuk
daya dukung yang relatif rendah di lingkungan permukiman kumuh.
Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota akan menimbulkan
dampak yang merusak lingkungan serta berpotensi mendorong
tumbuhkembangnya lingkungan permukiman kumuh atau kantong-kantong
lingkungan permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi akan menghapus
lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang mempunyai
nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat itu lingkungan
telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
7. Faktor Aksesibilitas
Secara umum, salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh adalah
terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital komunitas (community
capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital terbangun, individu
dan sosial serta lingkungan alam.
Kapital terbangun meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase,
jaringan listrik, ruang terbuka, perumahan, pasar, bangunan-bangunan
pelayanan publik, sekolah dan sebagianya. Kapital individu, antara lain
meliputi pendidikan, kesehatan kemampuan dan keterampilan. Kapital
sosial, antara lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas-cara
manusia berinteraksi dan berhubungan dengan lainnya. Dalam skala lebih
luas, sekelompok manusia membentuk organisasi, baik organisasi sukarela,
bisnis melalui perusahaan maupun pemerintah dan sebagainya, termasuk
berbagai sistem sosial yang ada, termasuk kebijakan pembangunan kota.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam, pelayanan
ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja yang
diambil dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai untuk
proses produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah
untuk budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk
pakaian dan sebagainya.
8. Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal pencapaian
pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan sangat ditentukan
oleh pendidikan itu sendiri dan pekerjaan orang tua untuk mampu
menyekolahkan anak mereka pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal
ini berarti perbedaan latar belakang budaya dan sosial ekonomi
(pendidikan dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap
pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan pendapatan
mereka. Sedangkan faktor lain seperti : tempat tinggal, agama, status
perkawinan dan status migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya
terhadap pencapaian pekerjaan dan pendapatan.
Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-standar yang
tinggi. Sementara persaingan untuk mencari lapangan kerja sangat tinggi
dan kesemuanya dituntut dengan tingkat propesionalisme dan tingkat
pendidikan pula yang harus dapat bersaing dengan orang lain. Dilain
pihak kota-kota di Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja
yang belum dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun
mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan yang
tinggi untuk bisa bertahan pada jalur formal. Elemen lain yang juga
menentukan adalah tidak adanya lapangan kerja yang disiapkan oleh
pemerintah. Dampak dari akumulasi kejadian tersebut memunculkan angka
pengangguran yang setiap tahunnya semakin bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar